Gunung Agung

Mendaki Gunung Agung, Bali



Lanjut, setelah mendaki Rinjani dan mampir sebentar ke Gili Trawangan, perjalanan kami lanjutkan mendaki Gunung Agung di Bali. Beda dengan Rinjani yang harus melalui desa terakhir Sembalun atau Senaru, mendaki Gunung Agung kita harus memasuki wilayah Pura Besakih, base camp terakhir. 

Gunung Agung dipercaya menjadi tempat bersemayamnya Batara Mahadewa atau Hyang Tolangkir, dewa kepercayaan Agama Hindu. Selain itu, Gunung Agung juga diyakini sebagai replika Gunung Semeru yang dibelah oleh Dewa Pasupati. Oleh karena memiliki nilai spiritual yang tinggi, Gunung Agung dipercaya menjadi  tulang punggung Pulau Bali dan rumah utama Pura Besakih. Sementara Pura Besakih sendiri adalah Pura terbesar di Bali, tempat dilaksanakannya ritual-ritual agung bagi umat Hindu.


Sejarah Letusan Gunung Agung

Gunung Agung merupakan sebuah gunung vulkanik tipe monoconic strato yang tingginya mencapai sekitar 3.142 meter di atas permukaan laut. Gunung tertinggi di Bali ini termasuk gunung muda dan terakhir meletus pada tahun 1963 setelah mengalami tidur panjang selama 120 tahun. Sejarah aktivitas Gunung berapi Agung memang tidak terlalu banyak diketahui.

Catatan sejarah mengenai letusan gunung ini mulai muncul pada tahun 1808. Ketika itu letusan disertai dengan uap dan abu vulkanik terjadi. Aktivitas gunung ini berlanjut pada tahun 1821, namun tidak ada catatan mengenai hal tersebut. Pada tahun 1843, Gunung Agung meletus kembali yang didahului dengan sejumlah gempa bumi. Letusan ini juga menghasilkan abu vulkanik, pasir, dan batu apung. Sejak 120 tahun tersebut, baru pada tahun 1963 Gunung Agung meletus kembali dan mengakibatkan kerusakan hebat.

Berdasarkan buku yang dikarang Kusumadinata pada tahun 1979, gempa bumi sebelum letusan gunung berapi yang saat ini masih aktif tersebut terjadi pada 16-18 Februari 1963. Letusan Gunung Agung yang diketahui sebanyak 4 kali sejak tahun 1800, di antaranya: Di tahun 1808; Letusan ini melontarkan abu dan batu apung dalam jumlah yang luar biasa. Tahun 1821 terjadi letusan normal, selanjutnya tidak ada keterangan. Kemudian meletus kembali pada tahun 1843 yang didahului oleh gempa bumi dan memuntahkan abu, pasir, dan batu apung. Selanjutnya tahun 1908, 1915, dan 1917 di berbagai tempat di dasar kawah dan pematangnya tampak tembusan fumarola. 1963, Letusan dimulai tanggal 18-2-1963 dan berakhir pada tanggal 27-1-1964. Korban tercatat 1.148 orang meninggal dan 296 orang luka.


Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan

Sumber-sumber mata air selama pendakian dari Pura Besakih ke Gunung Agung yang dianggap suci oleh masyarakat setempat. Tidak boleh sembarangan  orang mengambilnya, jika ada yang mau mengambil harus bersembahyang terlebih dahulu. Masyarakat Bali memiliki keyakinan bahwa Gunung Agung adalah gunung keramat yang harus dijaga. Jadi setiap pendaki yang mau naikharus ditemani pemandu.


Berbagai larangan juga diberlakukan untuk menghindari hal-hal buruk yang menyebabkan kematian di Gunung Agung, oleh karena sesuai dengan adat dan kepercayaan umat Hindu, masyarakat harus mengadakan Upacara Penyucian Gunung, jika terjadi kecelakaan yang sampai menyebabkan kematian.



Pura-pura kecil seperti ini akan banyak kita temui ketika mendaki Gunung Agung. Pemandu biasanya akan memberi informasi sebaiknya apa yang dilakukan ketika menemui pura-pura seperti ini.


Mencapai Pura Besakih

Padang Bai – Bangli à Bis  à 1,5 jam

Bangli – Besakih à angkot à 1 jam


Jika Anda hanya ingin mendaki Gunung Agung saja dan menggunakan jalur darat menyeberang dari Ketapang  – Gilimanuk, butuh waktu:

Gilimanuk – Denpasar àBis à4 jam

Denpasar – Bangli àBis à2 jam

Bangli – Besakih àAngkot à1 jam


Oleh karena kami melakukan pendakian tiga gunung sekaligus dan dimulai yang terjauh lebih dulu yaitu Gunung Rinjani, jadi Gunung Agung adalah gunung kedua tujuan kami. Kebetulan letaknya di Pulau Bali yang berada di tengah, di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok.

Dengan demikian rute yang kami tempuh dari arah timur yaitu menyeberang dari Pelabuhan Lembar menuju Padang Bai di Pulau Bali. Dari Padang Bai perjalanan kami lanjutkan menuju Desa Besakih yang menjadi desa paling akhir yang juga menjadi pintu masuk pendakian. Pengurusan izin pendakian pun juga berada di desa Besakih ini.

Oleh karena Gunung Agung merupakan gunung suci, mendaki ke gunung itu diwajibkan untuk didampingi pemandu. Biaya yang dikenakan bervariasi. Setelah negosiasi cukup alot, akhirnya kami sepakat dengan harga khusus walaupun masih tetap mahal bagi ukuran kantong mahasiswa seperti kami, hehehe. Hati-hati terhadap oknum-oknum yang hanya ingin mencari keuntungan, pastikan anda didampingi oleh pemandu resmi dari perangkat desa Besakih.

Jika ada upacara keagamaan pendakian ke Gunung Agung ditutup. Jadi jika Anda berencana mendaki Gunung Agung, pastikan bahwa tanggal yang Anda tentukan tidak sedang dilaksanakan upacara besar di Pura Besakih, karena tidak boleh ada orang yang berada di tempat yang lebih tinggi dari tempat suci ini.

Tepat pukul 10.00 pagi pendakian Gunung Agung kami mulai. Rencana kami tidak menginap di gunung ini, jadi setelah mencapai puncak kami akan langsung turun kembali. Empat puluh menit sudah kami berjalan sampai di pos satu (Puri Pengabengan), pukul 10.40, kami terus melanjutkan perjalanan menuju pos dua (Pos Boike). Hari itu udara cukup sejuk dengan angin semilir yang menggoda untuk terus berisirahat, karena jarang pendaki yang mendaki Gunung Agung, perjalanan kami tidak terlalu padat seperti di Gunung Rinjani. Setelah menempuh tiga jam perjalanan kami iba di pos dua pukul 13.50, kami tidak banyak beristirahat karena hari itu juga kami harus turun.



Tanjakan-tanjakan terjal seperti inilah yang kita temui di Gunung Agung.







Bunga Edelweis di sepanjang jalan menuju puncak Gunung Agung.

Ketika mendekati Pura Agung pohon-pohon besar sudah mulai jarang, diganti dengan perdu-perdu khas dataran tinggi. Kami berjalan di bebatuanbesar yang terdapat jurang di sebelah kirinya, menurut info daerah itu banyak pendaki yang salah jalur karena memang tidak tampak jalur menuju puncak satu.

Sore itu pukul 15.35 kami mencapai puncak satu, angin yang sejuk serta pemandangan yang memaksa kami untuk tetap tinggal, serta gumpalan awan yang menyadarkan kami bahwa alam di Indonesia harus dilestarikan dan dijaga keindahannya.



Kami seluruh tim berada di Puncak Gunung Agung.

Hari sudah terlalu sore sehingga kami memutuskan untuk tidak mendaki puncak tiga, tapi bergegas turun. Setelah istirahat dan makan untuk mengisi tenaga, pukul 17.00 kami mulai berjalan turun. Hari mulai gelap dan membutuhkan penerangan, badan kami mulai kedinginan dan lelah, oksigen mulai menipis, inilah yang kita alami jika berjalan pada malam hari. Anda bisa menambah energi Kita dengan menguyah cokelat.



Senja di belantara Gunung Agung, ketika kami dalam perjalanan turun kembali ke Desa Besakih.


Pukul 21.30 malam kami sampai di Pura Besakih, kami menikmati minuman hangat dan mie instan sambil berbincang dengan warga sekitar. 



Tip

Harus sabar, hati -hati, dan pintar negosisasi harga ketika mencari pemandu.

Wanita yang sedang berhalangan dilarang mendaki.
Untuk keselamatan sebaiknya pendaki singgah dan berdoa di pura.

Pantangan bagi pendaki untuk tidak membawa daging sapi dalam bentuk apa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages